Sabtu, 22 November 2008

Ketika Aku Menjadi Guru

Aku, Guru!

Aku mungkin termasuk pada seglintir orang yang menyaksikan secara langsung, bagaimana waktu mengubah sekumpulan anak manusia menjadi seorang yang lebih berarti, bukan hanya menjadi seonggok daging yang mempunyai nama.
Sekumpulan anak manusia ini memang benar-benar ajaib. Terbentuk oleh kebijakan sekolah yang menjadikan mereka satu, dalam rumah kedua mereka.
Elemen-elemen yang bersinergi di dalamya adalah elemen yang berbeda satu sama lain. Tidak hanya buruk, indahnya pun ada. Tidak hanya tawa, tangis pun terbentuk. Tidak hanya perselisihan, persahabatan pun tercipta. Kelas terindah yang pernah ku tangani. Kelas yang anggotanya tak hanya ku jadikan sebagai murid yang ku cekoki dengan kata-kata. Tapi kelas yang menjadi sahabat sekaligus guru.
Bakat-bakat mereka sangat kontras. Dan saling mengisi satu sama lain. meskipun mereka belum paham betul tentang bakat yang dititipkan Allah padanya, tapi mereka sudah bisa mengusahakan kemampunnya pada waktu yang mereka butuhkan. Karena seperti pernyataan Andrea Hirata dalam bukunya, bakat laksana area 51 di gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tau pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan tidak otomatis seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.
Tak jarang beberapa dari mereka berselisih seperti balita. Dan aku harus melerainya. Tak jarang juga mereka membuatku terharu dengan kebersamaan mereka. Dan aku senang ada di dalamnya. Seperti malam itu, di kelas yang telah mereka sulap. Mereka berhasil menindih ego remajanya dengan loyalitas untuk kelas mereka. Mereka berhasil menangkis pernyataan bahwa idealisme adalah satu-satunya kemewahan yang terakhir yang mereka miliki.
Gemerlap bintang yang mereka ciptakan, lantunan instrument yang mereka putar. Dan kehangatan yang tersulut dari hati mereka membuat air mataku meleleh malam itu. Bukan hanya mataku yang mengeluarkan cairannya. Tapi semuanya. Seluruh anggota kelas itu. Dari yang paling susah diam sampai terjenius. Semuanya meneteskan air mata untuk sebuah kebersamaan.
Tak lama lagi, sebuah acara besar akan tergelar atas nama yayasan elit ini. Acara dari buah kerja para pengurus osis. Acara yang jika berhasil ataupun gagal bisa menjadi batu loncatan sekolah ini untuk menggapai impiannya. Menjadi sekolah terhebat di Indonesia. Atau jika Allah mengizinkan, dunia-akhirat sekalian. Karena apapun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sebuah sesuatu yan buruk. Tapi bagaimana kita bersikap. Bagaimana kita menyikapinya.
Jika aku hanya memikirkan idelaisme, tanpa embel-embel lain. Aku akan paksa mereka kerja rodi untuk menyukseskan acara besar ini, tanpa ku pikirkan keperluan mereka di luar sekolah. Akan ku hambat kebersamaan mereka saat menyelesaikan tantangan kelas. Aku tak akan takut mereka membangkang, karena akan ku ancam mereka. Jika mereka tak menurutiku, acara ini tidak akan ku izinkan, dan angkatan mereka akan tercoreng-moreng.
Tapi, aku pernah menjalani kehidupan seperti mereka. Aku pernah menjadi anak SMA, yang emosinya masih terombang-ambing. Yang pikirannya masih bebas terbang kemana saja mereka mau, serta mood yang masih naik turun. Aku bisa merasakannya. Tatapan sinis mereka pada kenyataan yang pahit. Peluh mereka yang mengalir saat mengatar undangan. Belibetnya pikiran mereka saat mengerjakan proposal, dan segala tindakan mereka sehari-hari.
Jadi, sebagai manusia yang berusaha membuat semua orang yang ada di sampingku senang. Tak akan ku paksa mereka, tapi akan ku beri mereka motivasi agar impian, cita-cita, dan harapan mereka tercapai. Akan ku beri mereka tindakan yang akan mendongkrak semangat juang mereka, tanpa sedikitpun memberi mereka buah simalakama. Karena aku, guru.
Yang pasti mereka harus tahu, bahwa kehidupan itu adalah 10% yang terjadi pada diri kita, dan 90% sisanya adalah bagaimana kita menghadapinya. Dan yang kita perlu sekarang adalah, tubuh yang akan bekerja lebih besar dari yang biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, otak yang akan berputar lebih hebat dari biasanya, tindakan yang harus lebih efektif dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.
Whether you believe you can or whether you believe you can’t you are absolutely right!
“ Taruh mimpi itu di sini…”
“ Juga keinginan dan cita-citamu”
“ Semua keyakinan keinginan dan harapanmu…”
“ Taruh di sini…”
“ kamu taruh di sini, jangan menempel di kening…”
“ Biarlah dia…”
“ menggantung…mengambang… 5 centimeter”
“ di depan kening mu!”
“ Agar kamu bisa melihatnya terus…”
“Agar kamu bisa mengingatnya terus…”
“ Dan sebuah tekad yang besar akan tercipta di hatimu…”
“ Untuk terus mengejar, meraih dan memiliki mimpimu, cita-citamu, semua keinginanmu dan harapanmu.” Sebuah kalimat motivasi meluncur dari lisanku. Karena aku, guru.